Kekerasan Berbasis Gender dan Seksual (KBGS) dan infeksi HIV (Human Immunodeficiency Virus) memiliki keterkaitan erat. Korban Kekerasan Berbasis Gender, khususnya yang mengalami kekerasan seksual, memiliki risiko tinggi untuk terpapar HIV, dan sebaliknya, orang yang hidup dengan HIV/AIDS juga kerap menghadapi kekerasan, baik dalam bentuk fisik, psikis, maupun seksual bahkan dari orang terdekatnya. Hal ini menjadikan beban yang dihadapi perempuan korban KBGS dengan status HIV positif menjadi jauh lebih berat akibat stigma sosial dan akses layanan kesehatan yang sangat terbatas.
Untuk meningkatkan kesadaran kedua isu tersebut, Yayasan IPAS Indonesia bekerja sama dengan Standing Committee on Sexual & Reproductive Health and Rights Including HIV & AIDS, Center for Indonesian Medical Students’ Activities (SCORA CIMSA) menyelenggarakan talkshow dengan tajuk Aksi Bersama Melindungi Perempuan dari Kekerasan dan HIV pada Minggu, 1 Desember 2024 di Kalibata, Jakarta Selatan.
Community Access and Mobilization Specialist Yayasan IPAS Indonesia, Jaclyn Kaunang mengatakan masih banyak perempuan yang belum menyadari telah menjadi korban KBGS.
“Dari hasil asesmen kami di tiga kabupaten di Jawa Tengah, kami menemukan, salah satu faktor perempuan tidak melapor terjadinya kekerasan adalah karena mereka tidak sadar sedang mengalami kekerasan,” ungkapnya.
Hal ini mengindikasikan urgensi edukasi dan sosialisasi kesadaran mengenai KBGS itu sendiri. Selain itu, dukungan masyarakat sekitar, khususnya keluarga korban, dipercaya merupakan salah satu faktor penentu kebersediaan korban untuk melaporkan kasus dan mengakses layanan.
Koordinator Divisi PPIA Ikatan Perempuan Positif Indonesia, Hartini mengatakan penularan HIV pada perempuan sebagian besar berasal dari pasangannya, dengan kata lain, para perempuan tersebut yang menjadi korban kekerasan.
“Banyak perempuan yang tidak mampu atau tidak mau membuka status HIV dikarenakan kekhawatiran stigma, diskriminasi, serta resiko kekerasan yang kemungkinan besar akan diberikan oleh pasangan, keluarga, atau masyarakat sekitar,” imbuhnya.
Komisioner Komnas Perempuan Alimatul Qibtiyah menegaskan stigma ini mempengaruhi orang dengan infeksi HIV dalam mencari pengobatan. Bahkan, stigma tersebut ada juga yang berasal dari kalangan penyedia layanan kesehatan.
SCORA CIMSA telah melaksanakan asesmen untuk mengevaluasi pengetahuan, sikap, dan perilaku mahasiswa kedokteran serta masyarakat umum terhadap HIV/AIDS. Survei tersebut dilakukan secara online pada 1-28 Oktober 2024 dengan melibatkan total 105 responden.
Dari sisi pengetahuan dan sikap, secara umum, responden sudah memiliki pengetahuan dan juga sikap yang baik. Meski begitu, perlu adanya usaha untuk meningkatkan pengetahuan mengenai pencegahan HIV, utamanya terkait penelitian vaksin HIV serta tatalaksana pencegahan penularan dari ibu hamil yang hidup dengan HIV kepada bayinya.
“Satu-satunya jalan untuk memerangi AIDS adalah melalui pencegahan, dan satu-satunya cara pencegahan adalah melalui pendidikan, mari bersama-sama memerangi kekerasan, mencapai nol penularan HIV, dan memperkuat suara-suara yang kuat untuk mengakhiri HIV/AIDS dan stigma lewat persatuan dan tindakan,” pungkas SCORA CIMSA.